Selasa, 13 September 2016

IDUL ADHA 1437 H DKM ALMUHAJIRIN

Ciputat, 12 September 2016. DKM Al-Muhajirin pada tahun ini telah menyelenggaran kegiatan berupa peringatan Idul Adha yang dimulai dengan pengadaan hewan qurban, pemeliharaan, Sholat Ied, pemotongan hewan qurban dan pendistribusian daging qurban. Pada tahun ini DKM Al-Muhajirin mendapat amanah dari warga jama'ah sebanyak 5 ekor sapi dan 21 ekor kambing. Daging kurban dibagikan kepada yang berhak menerima dari warga komplek dan sekitarnya serta beberapa yayasan, dengan jumlah 750 kantong daging.

Sebagai khotib sekaligus imam pada kesempatan ini adalah Ust. H. Muhtadi Ibnu Abbas, SP.Di, M.Pdi. dengan tema makna berkurban serta aplikasinya dalam kehidupan sehari hari. lebih lengkapnya makna berkurban kami cuplik dari Bapak Qurais Shihab.

Hakikat Berkorban
Agama Islam ini sangat realistis, dalam perintah berkurban, yaitu menyembelih hewan kurban, kita tidak diperintahkan untuk mempersembahkan semua bagian dari binatang yang disembelih, tapi kita juga boleh berpikir tentang diri kita. Dari hewan yang kita kurbankan, diperintahkan bahwa 1/3 bagiannya menjadi bagian untuk kita dan keluarga, dan 2/3 dibagi lagi: 1/3 untuk orang yang membutuhkan, yaitu orang-orang dhuafa, dan , 1/3 lagi untuk orang yang tidak butuh dan sebenarnya mampu, boleh jadi saudara atau teman, dalam rangka menjalin hubungan yang lebih harmonis. Nilai-nilai itulah yang terdapat dalam ibadah kurban.
Ketika kita bicara idul Adha dan nabi Ibrahim, kita bisa berkata bahwa inti yang dikehendaki dari Hari Raya Qurban ini, yang pertama adalah mendidik kita untuk bersedia berkorban. Kita bisa bertanya sekrang, perlukah manusia berkorban? Kenapa kita harus berkorban? Yang pertama, kita manusia adalah satu kesatuan, karena kita tercipta dari unsur yang sama, berasal dari kakek yang sama, dari Adam. Jadi karena manusia itu satu kesatuan, dia harus berjalan seiring untuk mencapai cita-cita kemanusiaan. Karena itu Al Quran mengingatkan, siapa yang merusak satu orang, atau melakukan pengerusakan di muka bumi ini, maka dia bagaikan merusak semua orang, karena manusia adalah satu kesatuan, kita semua bersaudara, dari keturunan yang sama, dan pada saudara, harus kita membantu sebelum dia minta, dan harus ikut merasakan apa yang dia rasakan.
Kedua, kenapa kita harus berkorban? Secara individu orang per orang memiliki kebutuhan. Misalnya, saya tidak bisa memenuhi semua kebutuhan saya tanpa anda bantu, begitu juga sebaliknya. Kita ini makhluk sosial, tapi semua individu punya ego. Contohnya seperti dalam berlalu lintas, kita semua memiliki keinginan yang sama, yaitu ingin cepat sampai ke tujuan, atau misalnya rumah. Tapi kalau satu sama lain tidak ada yang mau mengalah, bisa terjadi kecelakaan, tabrakan. Misalnya, di persimpangan jalan, kalau semua orang mendahulukan kepentingannya masing-masing, ingin cepat sampai sendiri, dan tidak ada yang mau berhenti dengan mengikuti rambu dari lampu lalu lintas, justru hal itu dapat menghambat dan bisa jadi mencelakakan diri sendiri dan orang lain. Karena itu, masing-masing orang harus mengorbankan sedikit waktunya untuk bersabar, menunggu gilirannya untuk jalan, dan tidak mendahulukan kepentingannya sendiri. Jadi masing-masing individu mau berkorban sedikit atau banyak, bukan untuk orang lain, tapi juga untuk dirinya sendiri. Semakin banyak kita berkorban, semakin lancar lalu lintas. Begitu juga dengan lalu lintas kehidupan, dan korban itulah menyisihkan sebagian dari kepentingan ego diri sendiri, untuk orang lain, itulah yang akan melahirkan akhlak.
Jadi kepentingan kita sendirilah sebenarnya yang mengundang kita untuk berkorban. Jadi dari korban itu yang dinilai Tuhan adalah ketulusan, semakin banyak berkorban dengan ketulusan, semakin tinggi akhlak, semakin sedikit berkorban, semakin sedikit akhlak. Kalau pengorbanan itu sudah tidak ada, akhlak tidak ada, kalau akhlak tidak ada, runtuhlah masyarakat. Itu substansinya dari Hari Raya Qurban, kita diminta berkurban demi orang lain, demi masyarakat, yang kebaikannya juga akan kembali kepada kita.

Belajar dari Kaum Ad, Tsamud, dan Firaun
Al Quran bercerita, dahulu ada masyarakat Ad, masyarakat Tsamud, dan masyarakat Firaun. Masyarakat Ad membangun bangunan yang luar biasa indah, masyarakat Tsamud sangat ahli dalam seni melukis, dan umat firaun itu sangat ahli dalam teknologi, contohnya sampai sekarang teknologi pembuatan Piramid masih belum diketahui. Dalam Al Quran disebutkan:“Tidakkah engkau memperhatikan Tuhanmu memperlakukan kaum Ad, yang membangun bangunan yang tidak ada seperti itu di mana pun? Dan kaum Tsamud yang membelah batu karang dan mengukirnya, dan gunung-gunung untuk menjadi rumah? Dan Firaun dengan piramida-piramida? Mereka melampaui batas dalam kehidupan” Dalam Al Quran diceritakan bahwa masyarakat dari ketiga kaum tersebut tidak ada yang mau mengalah, tidak ada yang mau berkorban, misalnya Firaun yang selalu menindas masyarakatnya. Lalu Allah menghancurkan mereka, menumpahkan mereka dengan siksa yang disebabkan oleh mereka sendiri. Karena itu, satu masyarakat yang tidak ada akhlaknya pasti runtuh, karena tidak ada yang mau mengalah.
Pada orang-orang yang tidak punya akhlak, krisis bisa dijadikan sebagai sarana untuk mendapatkan keuntungan. Jadi mereka bukan lagi menyelesaikan problem, tapi justru mencari keuntungan dari krisis yang ada. Ketika itu terjadilah yang dinamakan pakar-pakar dengan “ddrama sosial”, orang tidak mau menyelesaikan problem, karena kalau diselesaikan dia tidak dapat untung. Itu sebabnya dikatakan bahwa yang lebih penting daripada pembangunan ekonomi dan pembangunan budaya adalah pembangunan akhlak, dan tidak ada pembangunan akhlak kalau tidak bersedia berkorban. Jadi agama ingin mengatakan agar manusia mencoba memanfaatkan momentum hari raya korban sebagai kesempatan untuk belajar kesediaan berkorban.
(Pertanyaan Pemirsa)
Apa makna pengorbanan dalam Islam?  Sementara pengorbanan itu untuk orang lain, kepentingan kita itu ada di mana?
Banyak yang salah paham, jangan pernah menduga ketika anda memberi anda tidak mendapat sesuatu. Perumpamaannya seperti, ketika kita mengulurkan tangan pada orang, bukan hanya tangan orang lain itu yang menyentuh tangan kita, tapi sebenarnya tangan kita juga menyentuh tangannya. Kalau kita memberi sesuatu dengan tulus pada orang lain, hal itu bisa memberikan kita kepuasan yang luar biasa.
Contohnya Ada teman saya (teman Pak Quraish), seorang kaya, bercerita, tidak jarang dia memberi uang berjuta-juta rupiah pada orang-orang di sekelilingnya, Tapi pernah suatu ketika, dia sedang berada di dalam perjalanan, dan melihat ada orang tua miskin. Lalu dia turun dan memberikan beberapa ratus ribu rupiah pada orang tersebut. Kemudian, dia merasa hatinya luar biasa sangat bahagia setelah memberikan uang beberapa ratus ribu pada orang tua itu. Jauh lebih bahagia daripada ketika ia biasanya memberi puluhan juta pada orang-orang lain di sekelilingnya. Hal ini mungkin juga dikarenakan selama ini ia memberikan berjuta-juta pada orang-orang tersebut dengan kurang tulus, dan ada maksud lain. Jadi ketulusanlah yang jauh lebih berarti daripada jumlah yang kita berikan atau korbankan.
Apakah untuk mendekatkan diri pada Allah kita harus melaluinya dengan penuh penderitaan, dengan selalu berkorban, atau bagaimana?
Jalan ke neraka itu ringan dan mudah, jalan ke surga itu berat. Anda harus bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Tapi sebenarnya, kita lihat lagi, korban itu, kalau orang tulus kita tidak akan merasakan bahwa kita sedang berkorban. Contohnya adalah kalau kita adalah seorang ibu dan punya anak, kalau anak kita sakit, kepingin nggak kita yang sakit menggantikan anak kita? Itulah pengorbanan seorang ibu, karena tulus, ia akan rela mengorbankan dirinya demi anak yang dicintainya, dan tidak merasa hal itu sebagai pengorbanan.
Contoh lain, kita sedang sangat kehausan, dan buka kulkas untuk mengambil minum, tiba-tiba anak kita datang, terengah-engah minta minum, apakah anak kita duluan yang kita kasih minum atau diri kita dahulu? Setiap orangtua pasti mendahulukan anaknya. Ada kelezatan rohani dari pengorbanan yang dilakukan dengan tulus, orang lain mungkin melihatnya menderita, tapi kita yang melakukannya tidak merasa seperti itu.
Itulah kata Sigmund Freud, manusia itu mendapatkan kelezatan pada saat menekan dorongannya. Kita perlu ingat bahwa kita manusia ini bukan cuma makhluk yang terdiri atas jasmani tapi juga rohani.
Kesimpulan
Pertama, Idul Adha atau hari Raya Qurban, tujuannya mengingatkan manusia tentang perlunya berkorban, karena manusia, sebagai masyarakat tidak dapat tegak tanpa kesediaan berkorban.
Kedua, korban Idul Adha itu dinamai demikian karena kelembutan hati orang yang berkorban, dan kelembutan hati itu dibuktikan oleh ketulusan yang memberi. Korban adalah manifestasi dari rasa iba anda melihat orang lain. Atau dalam bahasa yang lebih umum “Rahmat”, yang bermakna kasih, dan Agama ini intinya adalah Rahmatan lil Alamin, rahmat atau kasih bagi seluruh alam.
Rahmat itu keperihan hati, yang mendorong orang yang perih itu untuk mengurangi ketidakberdayaan orang lain itu setelah melihat ketidakberdayaan orang lain. Dan jika dorongan itu semakin besar, semakin banyak pengorbanan yang diberikan, atau pemberiannya pada orang lain. Tanpa kesediaan berkorban tidak ada akhlak, tanpa akhlak manusia runtuh. Karena krisis yang dihadapi masyarakat yang tidak berakhlak, menjadikan mereka menggunakan krisis itu menjauh dari pengorbanan, tapi untuk keuntungan diri sendiri, lahirlah budaya mumpung, mencari kesempatan dari krisis.
Disyariatkanya kurban ini merujuk pada nabi Ibrahim, yang bersedia menuruti perintah Tuhan untuk mengorbankan anaknya sendiri, tapi kemudian Tuhan melarang mengorbankan manusia, walaupun di saat yang sama, manusia harus sadar bahwa tidak ada yang mahal untuk Allah. Ibrahim adalah tokoh yang menghimpun sekian banyak keistimewaan, karena itu ada ibadah haji yang digunakan untuk kita meneladani nabi Ibrahim.

Minggu, 24 Juli 2016

PEMILIHAN KA. DKM AL-MUHAJIRIN PERIODE 2016-2019

 
Tangerang Selatan, Juli 2016. Bertempat di ruang Masjid Al-Muhajirin, pengurus DKM Al-Muhajirin periode 2013-2016 telah mempertanggungjawabkan kepengurusannya kepada warga muslim komplek dan sekitarnya pada tanggal 16 Juli 2016, yang seharusnya kepengurusan tersebut telah berakhir pada bulan Pebruari 2016. Setelah pertanggungjawaban pengurus diterima oleh para jama'ah, dilanjutkan dengan pemilihan pimpinan sidang membentuk tim formatur. Tim Formatur dan pimpinan sidang selanjutnya melakukan rapat kecil untuk menyepakati dan memilih Ketua DKM Al-Muhajirin untuk periode 2016-2019.

Alhamdulillah dalam waktu yang cukup singkat telah dipilih dan ditetapkan oleh Tim Formatur ketua DKM Al-Muhajirin untuk periode 2016-2019 yaitu Bapak. Kol. H, R. Ade Ahmad Rivai. Sebagai pimpinan sidang dan tim formatur yaitu:

Pimpinan Sidang:
  1. Bpk. H. Agoes Subagio
  2. Bpk. Ir. H. Tugiyono
  3. Bpk. H. Sri Harjono, S.Sos







Tim Formatur:
  1. Bpk. H. Yusrizal, SH
  2. Bpk. H. Iskandar Malkiwi, SKM. MM
  3. Bpk. H. R. Ade Ahmad Rivai, SKM
  4. Bpk. H. Pudjo Hartono, MPS
  5. Bpk. Amanudin

Minggu, 10 Juli 2016

RENCANA PEMBANGUNAN MENARA

DKM Al-Muhajirin pada tahun 2016 merencanakan membangun Menara untuk penempatan Speaker, demi syiarnya kegiatan Masjid. Untuk itu mohon Do'a dan dukungannya demi terlaksananya kegiatan tersebut. Terima kasih.


IDUL FITRI 1437 H

Ciputat, 5 Juli 2016. DKM Al-Muhajirin telah melaksanakan kegiatan Peringatan Hari Besar Islam (PHBI) yaitu Idul Fitri 1437-H, dengan rangkaian kegiatan dimulai pembentukan panitia, melaksanakan kegiatan Ibadah Sholat Tarawih, Tadarusan, Kultum Subuh, dilanjutkan dengan penerimaan dan penyaluran zakat fitrah, akhir rangkaian tersebut adalah Sholat Ied yang dilaksanakan di halaman Masjid Al-Muhajirin dilanjutkan dengan Halal bi Halal oleh warga komplek dan sekitarnya.


Tema khutbah sholat Ied tahun ini adalah hakekat dan makna i
dul fitri bagi umat Islam yang telah menjalankan puasa sebulan penuh. Setelah kaum muslimin menjalani „tranning" 1 bulan lamanya selama puasa, tentu tiada tanggal yang paling dinantikan selain tanggal 1 Syawal. Pada saat itulah kaum muslimin merayakan hari kemena-ngannya. Kemenangan atas nafsunya. Semua bergembira pada hari itu.
Sebelum kita merayakan Idul Fitri sebagai hari kemenangan, penting bagi kita untuk terlebih dahulu memahami hakikat atau arti dari Idul Fitri itu sendiri dan mendudukkannya secara proporsional, sehingga kita bisa mengambil sikap yang tepat, bagaimana seharusnya kita merayakan hari kemenangan ini, apakah kita akan merayakannya dengan membeli baju termahal dan berpesta pora serta menyulut kembang api seperti banyak dilakukan sebagian orang  pada malam tahun baru Masehi, ataukah kita akan merayakannya dengan penuh rasa syukur dan  sujud kepada Allah.
Fitri berarti fitrah atau suci. Sesuai dengan arti kata itu, kaum muslimin pada hari Idul Fitri merayakan kemenangannya karena mereka telah berhasil membersihkan / mensucikan jiwanya dari kotoran dan karat-karat nafsu dunia dan kembali kepada fitrahnya yang suci, yaitu Islam. Bagaimanakah orang yang telah mengembalikan fitrah Islamnya ? Salah satu cirinya yaitu, mereka telah mampu meng-aplikasikan Islam dalam setiap gerak dan langkah kehidupannya di dunia (segala perkataan dan perbuatannya selalu merujuk pada Al-Quran dan Sunnah Rasul), sehingga baginya dunia hanyalah sarana untuk mencapai tujuan akhirat. Mereka yang telah bersungguh-sungguh dalam menjalankan puasanya demi untuk mendekatkan dirinya kepada Allah dan mencapai keridhaan-Nya semata. Bukan hanya sekedar memenuhi kewajiban dalam rukun Islamnya saja, apalagi dengan tujuan riya’ (pemer) kepada manusia.  Mudah-mudahan Allah menjauh-kan kita dari sifat riya’ ini dan memasukkan kita kedalam golongan orang-orang yang bergembira karena puasanya.
 amien .. amien .. amien

“Barang siapa yang melaksanakan ibadah shaum selama satu bulan dengan penuh keimanan kepada Allah SWT maka apabila ia memasuki Idul Fithri ia akan kembali menjadi Fithrah seperti bayi (Tiflul) dalam rahim ibunya " (HR Bukhari )