Sebagai khotib sekaligus imam pada kesempatan ini adalah Ust. H. Muhtadi Ibnu Abbas, SP.Di, M.Pdi. dengan tema makna berkurban serta aplikasinya dalam kehidupan sehari hari. lebih lengkapnya makna berkurban kami cuplik dari Bapak Qurais Shihab.
Hakikat Berkorban
Agama Islam ini sangat realistis, dalam perintah berkurban, yaitu menyembelih hewan kurban, kita tidak diperintahkan untuk mempersembahkan semua bagian dari binatang yang disembelih, tapi kita juga boleh berpikir tentang diri kita. Dari hewan yang kita kurbankan, diperintahkan bahwa 1/3 bagiannya menjadi bagian untuk kita dan keluarga, dan 2/3 dibagi lagi: 1/3 untuk orang yang membutuhkan, yaitu orang-orang dhuafa, dan , 1/3 lagi untuk orang yang tidak butuh dan sebenarnya mampu, boleh jadi saudara atau teman, dalam rangka menjalin hubungan yang lebih harmonis. Nilai-nilai itulah yang terdapat dalam ibadah kurban.
Ketika kita bicara idul Adha dan nabi Ibrahim, kita bisa berkata bahwa inti yang dikehendaki dari Hari Raya Qurban ini, yang pertama adalah mendidik kita untuk bersedia berkorban. Kita bisa bertanya sekrang, perlukah manusia berkorban? Kenapa kita harus berkorban? Yang pertama, kita manusia adalah satu kesatuan, karena kita tercipta dari unsur yang sama, berasal dari kakek yang sama, dari Adam. Jadi karena manusia itu satu kesatuan, dia harus berjalan seiring untuk mencapai cita-cita kemanusiaan. Karena itu Al Quran mengingatkan, siapa yang merusak satu orang, atau melakukan pengerusakan di muka bumi ini, maka dia bagaikan merusak semua orang, karena manusia adalah satu kesatuan, kita semua bersaudara, dari keturunan yang sama, dan pada saudara, harus kita membantu sebelum dia minta, dan harus ikut merasakan apa yang dia rasakan.
Kedua, kenapa kita harus berkorban? Secara individu orang per orang memiliki kebutuhan. Misalnya, saya tidak bisa memenuhi semua kebutuhan saya tanpa anda bantu, begitu juga sebaliknya. Kita ini makhluk sosial, tapi semua individu punya ego. Contohnya seperti dalam berlalu lintas, kita semua memiliki keinginan yang sama, yaitu ingin cepat sampai ke tujuan, atau misalnya rumah. Tapi kalau satu sama lain tidak ada yang mau mengalah, bisa terjadi kecelakaan, tabrakan. Misalnya, di persimpangan jalan, kalau semua orang mendahulukan kepentingannya masing-masing, ingin cepat sampai sendiri, dan tidak ada yang mau berhenti dengan mengikuti rambu dari lampu lalu lintas, justru hal itu dapat menghambat dan bisa jadi mencelakakan diri sendiri dan orang lain. Karena itu, masing-masing orang harus mengorbankan sedikit waktunya untuk bersabar, menunggu gilirannya untuk jalan, dan tidak mendahulukan kepentingannya sendiri. Jadi masing-masing individu mau berkorban sedikit atau banyak, bukan untuk orang lain, tapi juga untuk dirinya sendiri. Semakin banyak kita berkorban, semakin lancar lalu lintas. Begitu juga dengan lalu lintas kehidupan, dan korban itulah menyisihkan sebagian dari kepentingan ego diri sendiri, untuk orang lain, itulah yang akan melahirkan akhlak.
Jadi kepentingan kita sendirilah sebenarnya yang mengundang kita untuk berkorban. Jadi dari korban itu yang dinilai Tuhan adalah ketulusan, semakin banyak berkorban dengan ketulusan, semakin tinggi akhlak, semakin sedikit berkorban, semakin sedikit akhlak. Kalau pengorbanan itu sudah tidak ada, akhlak tidak ada, kalau akhlak tidak ada, runtuhlah masyarakat. Itu substansinya dari Hari Raya Qurban, kita diminta berkurban demi orang lain, demi masyarakat, yang kebaikannya juga akan kembali kepada kita.
Belajar dari Kaum Ad, Tsamud, dan Firaun
Al Quran bercerita, dahulu ada masyarakat Ad, masyarakat Tsamud, dan masyarakat Firaun. Masyarakat Ad membangun bangunan yang luar biasa indah, masyarakat Tsamud sangat ahli dalam seni melukis, dan umat firaun itu sangat ahli dalam teknologi, contohnya sampai sekarang teknologi pembuatan Piramid masih belum diketahui. Dalam Al Quran disebutkan:“Tidakkah engkau memperhatikan Tuhanmu memperlakukan kaum Ad, yang membangun bangunan yang tidak ada seperti itu di mana pun? Dan kaum Tsamud yang membelah batu karang dan mengukirnya, dan gunung-gunung untuk menjadi rumah? Dan Firaun dengan piramida-piramida? Mereka melampaui batas dalam kehidupan” Dalam Al Quran diceritakan bahwa masyarakat dari ketiga kaum tersebut tidak ada yang mau mengalah, tidak ada yang mau berkorban, misalnya Firaun yang selalu menindas masyarakatnya. Lalu Allah menghancurkan mereka, menumpahkan mereka dengan siksa yang disebabkan oleh mereka sendiri. Karena itu, satu masyarakat yang tidak ada akhlaknya pasti runtuh, karena tidak ada yang mau mengalah.
Pada orang-orang yang tidak punya akhlak, krisis bisa dijadikan sebagai sarana untuk mendapatkan keuntungan. Jadi mereka bukan lagi menyelesaikan problem, tapi justru mencari keuntungan dari krisis yang ada. Ketika itu terjadilah yang dinamakan pakar-pakar dengan “ddrama sosial”, orang tidak mau menyelesaikan problem, karena kalau diselesaikan dia tidak dapat untung. Itu sebabnya dikatakan bahwa yang lebih penting daripada pembangunan ekonomi dan pembangunan budaya adalah pembangunan akhlak, dan tidak ada pembangunan akhlak kalau tidak bersedia berkorban. Jadi agama ingin mengatakan agar manusia mencoba memanfaatkan momentum hari raya korban sebagai kesempatan untuk belajar kesediaan berkorban.
(Pertanyaan Pemirsa)Kesimpulan
Apa makna pengorbanan dalam Islam? Sementara pengorbanan itu untuk orang lain, kepentingan kita itu ada di mana?
Banyak yang salah paham, jangan pernah menduga ketika anda memberi anda tidak mendapat sesuatu. Perumpamaannya seperti, ketika kita mengulurkan tangan pada orang, bukan hanya tangan orang lain itu yang menyentuh tangan kita, tapi sebenarnya tangan kita juga menyentuh tangannya. Kalau kita memberi sesuatu dengan tulus pada orang lain, hal itu bisa memberikan kita kepuasan yang luar biasa.
Contohnya Ada teman saya (teman Pak Quraish), seorang kaya, bercerita, tidak jarang dia memberi uang berjuta-juta rupiah pada orang-orang di sekelilingnya, Tapi pernah suatu ketika, dia sedang berada di dalam perjalanan, dan melihat ada orang tua miskin. Lalu dia turun dan memberikan beberapa ratus ribu rupiah pada orang tersebut. Kemudian, dia merasa hatinya luar biasa sangat bahagia setelah memberikan uang beberapa ratus ribu pada orang tua itu. Jauh lebih bahagia daripada ketika ia biasanya memberi puluhan juta pada orang-orang lain di sekelilingnya. Hal ini mungkin juga dikarenakan selama ini ia memberikan berjuta-juta pada orang-orang tersebut dengan kurang tulus, dan ada maksud lain. Jadi ketulusanlah yang jauh lebih berarti daripada jumlah yang kita berikan atau korbankan.
Apakah untuk mendekatkan diri pada Allah kita harus melaluinya dengan penuh penderitaan, dengan selalu berkorban, atau bagaimana?
Jalan ke neraka itu ringan dan mudah, jalan ke surga itu berat. Anda harus bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Tapi sebenarnya, kita lihat lagi, korban itu, kalau orang tulus kita tidak akan merasakan bahwa kita sedang berkorban. Contohnya adalah kalau kita adalah seorang ibu dan punya anak, kalau anak kita sakit, kepingin nggak kita yang sakit menggantikan anak kita? Itulah pengorbanan seorang ibu, karena tulus, ia akan rela mengorbankan dirinya demi anak yang dicintainya, dan tidak merasa hal itu sebagai pengorbanan.
Contoh lain, kita sedang sangat kehausan, dan buka kulkas untuk mengambil minum, tiba-tiba anak kita datang, terengah-engah minta minum, apakah anak kita duluan yang kita kasih minum atau diri kita dahulu? Setiap orangtua pasti mendahulukan anaknya. Ada kelezatan rohani dari pengorbanan yang dilakukan dengan tulus, orang lain mungkin melihatnya menderita, tapi kita yang melakukannya tidak merasa seperti itu.
Itulah kata Sigmund Freud, manusia itu mendapatkan kelezatan pada saat menekan dorongannya. Kita perlu ingat bahwa kita manusia ini bukan cuma makhluk yang terdiri atas jasmani tapi juga rohani.
Pertama, Idul Adha atau hari Raya Qurban, tujuannya mengingatkan manusia tentang perlunya berkorban, karena manusia, sebagai masyarakat tidak dapat tegak tanpa kesediaan berkorban.
Kedua, korban Idul Adha itu dinamai demikian karena kelembutan hati orang yang berkorban, dan kelembutan hati itu dibuktikan oleh ketulusan yang memberi. Korban adalah manifestasi dari rasa iba anda melihat orang lain. Atau dalam bahasa yang lebih umum “Rahmat”, yang bermakna kasih, dan Agama ini intinya adalah Rahmatan lil Alamin, rahmat atau kasih bagi seluruh alam.
Rahmat itu keperihan hati, yang mendorong orang yang perih itu untuk mengurangi ketidakberdayaan orang lain itu setelah melihat ketidakberdayaan orang lain. Dan jika dorongan itu semakin besar, semakin banyak pengorbanan yang diberikan, atau pemberiannya pada orang lain. Tanpa kesediaan berkorban tidak ada akhlak, tanpa akhlak manusia runtuh. Karena krisis yang dihadapi masyarakat yang tidak berakhlak, menjadikan mereka menggunakan krisis itu menjauh dari pengorbanan, tapi untuk keuntungan diri sendiri, lahirlah budaya mumpung, mencari kesempatan dari krisis.
Disyariatkanya kurban ini merujuk pada nabi Ibrahim, yang bersedia menuruti perintah Tuhan untuk mengorbankan anaknya sendiri, tapi kemudian Tuhan melarang mengorbankan manusia, walaupun di saat yang sama, manusia harus sadar bahwa tidak ada yang mahal untuk Allah. Ibrahim adalah tokoh yang menghimpun sekian banyak keistimewaan, karena itu ada ibadah haji yang digunakan untuk kita meneladani nabi Ibrahim.