Tangsel, 25 Nopember 2012. DKM Al-Muhajirin telah mengadakan kegiatan peringatan Muharam 1434-H, acara dikemas berupa Tausiah dan Dzikir yang dipimpin oleh Ust. H. Ahmad Junaedi. LC Direktur Rumah Sakit Azdzikra yang didampingi oleh Ustadz Wahyu. Pada acara tersebut juga dilakukan kegiatan berupa santunan kepada anak yatim yang berjumlah 48 anak, diambil dari warga komplek dan sekitarnya. Acara dimulai dari jam 9 pagi sampai jam 11 siang, Alhamdulillah semua rangkaian acara berjalan dengan lancar. Kegiatan diatas juga dimeriahkan oleh putra putri PAI Al-Muhajirin dengan membawakan nasyid, kemudian ditampilkan pula kesenian islami oleh Ibu-Ibu pengajian Al-Muhajirin berupa Marawis dan Hadroh. Dalam sambutannya Kepala Bidang Da'wah H.R. Ahmad Rivai menyampaikan bahwa kegiatan ini merupakan kegiatan tahunan bidang PHBI yang di ketuai oleh H. Sulaeman, dan beliau menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung suksesnya acara tersebut. Selanjutnya sambutan ketua DKM Al-Muhajirin H.Pudjo Hartono, yang intinya beliau sampaikan bahwa tahun ini 1434 H, mungkin sambutan yang terakhir karena masa kepengurusan DKM akan berakhir pada Desember 2012 dan pada periode ini akan dilakukan pemilihan ketua DKM untuk periode 2013-2016.
Perspektif Historis Peringatan 1 Muharram |
Oleh Abu Rokhmad
Umat
Islam kembali bertemu dengan pergantian tahun baru hijriah 1 Muharram
1431 H, bertepatan dengan tanggal 18 Desember 2009. Perubahan tahun
kalender Islam —yang juga disatukan dengan pergantian tahun baru Jawa
oleh penguasa Mataram saat itu— berdekatan waktunya perayaan hari Natal
dan tahun baru Masehi dan Imlek patut dijadikan renungan bersama.
Dalam
tradisi Islam maupun Jawa, bulan Muharram atau Sura ini memiliki makna
yang unik. Orang Jawa memandang Sura merupakan bulan istimewa yang penuh
mitos. Di bulan inilah hubungan antara manusia dengan makhluk halus
(bangsa lelembut) ditata dan diharmonisasi kembali melalui ritual adus
kungkum (berendam di air), pencucian benda-benda keramat dan sejenisnya.
Laku untuk meraih kasekten (kesaktian) dan kamukten (kemuliaan) yang
mengandalkan kontrak kerja dengan bangsa alus akan lebih mujarab bila
dilaksanakan pada bulan ini.
Umat
Islam juga memiliki cerita yang khas mengenai muharram ini. Selain
karena Muharram telah dijadikan sebagai titik tolak pergantian tahun
baru hijriah, Muharram juga menjadi bulan favorit para nabi zaman dulu
diselamatkan dari berbagai petaka. Hingga hari ini, ritual menyambut
tahun baru Islam dirayakan melalui pembacaan doa akhir dan awal tahun,
termasuk disunnahkan bagi umat Islam untuk puasa Asyura (hari ke-10), di
samping Tasu’a (hari ke-9) dan hari ke-11.
Dasar
puasa sunnah ini adalah salah satu hadits Rasulullah yang termaktub
dalam Sahih Bukhari: ’’Dari Ibnu ’Abbas, ketika Nabi Muhammad SAW tiba
di Madinah, ia melihat orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Nabi
bertanya: ’Apakah ini?’ Orang-orang Yahudi menjawab: ’Ini hari yang
baik. Pada hari inilah Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh
mereka, maka Musa AS berpuasa pada hari itu. Kata Nabi kemudian: ’Aku
lebih berhak terhadap Musa daripada kalian. Maka Nabi pun melakukan
puasa dan kaum mukmin untuk melakukannya juga.”
Ada
juga hadits yang diriwayatkan dalam Sahih Muslim bahwa orang yang
berpuasa pada hari Asyura (10 Muharram), ditambah hari Tasu’a (9
Muharram) dan tanggal 11 Muharram akan diampuni dosa-dosanya selama
setahun yang lalu. Dua hadits ini setidaknya menambah keyakinan betapa
Asyura merupakan bulan penting karena telah terjadi peristiwa bersejarah
yang patut diperingati.
Konon
banyak sekali nabi Allah yang disembuhkan atau diselamatkan pada
tanggal 10 Muharram. Nabi Ayyub disembuhkan dari penyakit kustanya, Nabi
Musa diselamatkan dari kejaran Raja Fir’aun, Nabi Nuh dibebaskan dari
kepungan banjir besar, Nabi Ibrahim diselamatkan dari kobaran api Raja
Namrud dan lain sebagainya. Nabi-nabi pilihan ini diangkat derajatnya
dan mengalami titik balik (turning point) kehidupan pada hari
Asyura itu. Hadits dan bukti historis di atas dijadikan pijakan oleh
kaum muslim untuk melakukan puasa sunnat Asyura sebagai wujud rasa
syukur karena Allah telah menyelamatkan manusia pilihan dari tindak
kebathilan kaumnya.
Hari duka atau suka cita
Ali
Syari’ati pernah mengatakan bahwa sejarah tentang kebaikan adalah
sejarah tentang sederetan kekalahan (1993:162). Begitu pula pengungkapan
kebenaran seringkali diwarnai dengan maraknya kebatilan. Bukanlah suatu
kebetulan bila sejarah Islam tidak hanya mencatat peristiwa yang
manis-manis saja. Manisnya sejarah Muharram karena ia dijadikan sebagai
sistem kalender Islam. Muharram dijadikan sebagai bulan pertama tahun
Islam lebih karena alasan politis-sosiologis. Sebab penamaan hijrah itu
dimaksudkan sebagai penghargaan terhadap momentum hijrah Nabi Muhammad
dari Makkah ke Madinah. Sedangkan peristiwa hijrah sendiri tidak terjadi
di bulan Muharram tapi di bulan Maulud (Rabi’ul Awwal).
Kemenangan
para nabi di bulan ini tidak terjadi di dalam sejarah Islam. Muharram
dalam sejarah Islam malah diwarnai peristiwa kelam dan berlumuran darah,
tepatnya di tanggal 10 Muharram. Dikisahkan ketika berhasil memperdayai
Ali Ibn Abi Thalib dan merebut kekuasaan al-khilafah al-rasyidah dari
sahabat Rasulullah yang saleh ini, Mu’awiyah ibn Abi Sufyan melancarkan
propaganda dan agitasi politik ke seluruh pelosok untuk mereduksi dan
menghilangkan pengaruh Ali ibn Abi Thalib.
Ali
menantu Rasulullah dari anaknya Fatimah, mukmin pertama dari kalangan
anak-anak yang beriman atas kerasulan Nabi Muhammad, yang menggantikan
tempat tidurnya saat rumah Nabi dikepung kaum Jahiliyyah, yang
meruntuhkan benteng Khaibar, yang memenangkan perang Badr, yang tegak
berdiri di Hud ketika sahabat yang lain melarikan diri dari medan
perang, kini dicaci-maki di berbagai tempat, termasuk di mimbar-mimbar
masjid. Pengikut dan anak cucu Ali dianiaya dan disia-siakan.
Al-Hasan
putra Ali, bersedia damai dengan Mu’awiyah asal ia menghentikan kecaman
terhadap ayahnya. Meski akhirnya, al-Hasan harus menelan pil pahit
karena Mu’awiyah berkhianat dan tidak menepati janjinya. Sementara al-
Husain, saudara al-Hasan bersikap lebih keras kepada orang-orang yang
menganiaya ahl al-bait (keluarga Ali keturunan Rasulullah). Di makam
Rasulullah, ia bertekad menegakkan kembali Islam Muhammadi —Islam yang
diajarkan Muhammad SAW yang menentang kezaliman dan melawan penindasan.
Al-Husain bertekad menjadikan Islam sebagai agama yang pro kaum
mustadh’afin.
Kebenaran
yang diyakini anak Ali ibn Abi Thalib ini harus dibayar mahal. Empat
ribu pasukan Yazid ibn Muawiyah berhasil menghabisi al-Husain dan
pengikutnya di padang Karbala. Al-Husain wafat dan kepalanya dipenggal,
diarak sepanjang jalan dan diserahkan kepada penguasa saat itu, tepat 10
Muharram 61 H. Jadi bagi keluarga Rasulullah, 10 Muharram adalah hari
dukacita, berkabung, bukan hari bersyukur. Inilah hari lahirnya Shi’isme
(loyalis Ali ibn Abi Thalib) yang selalu diperingati dengan darah dan
airmata oleh pengikutnya.
Dengan
propaganda politiknya, Mu’awiyah berhasil membalik persepsi publik
dengan menjadikan 10 Muharram sebagai hari kemenangan yang patut
dirayakan. Muslim Indonesia yang mayoritas bermazhab Sunni, tampaknya
ikut-ikutan terlena oleh agenda politik Mu’awiyah ini. Tanpa menyadari
motif politik di balik perayaan bulan Muharram, maka amalan-amalan yang
dianjurkan untuk dikerjakan di bulan ini akan kehilangan makna atau
malah salah sasaran.
Perjuangan
mempertahankan dan menegakkan kebenaran seharusnya lebih militan dan
sistematis. Jangan sampai loyo dan akhirnya dikalahkan oleh kebathilan.
Bahwa kita wajib mewujudkan pemerintahan yang baik adalah kebenaran yang
harus dilaksanakan. Kalau kita sepakat bahwa korupsi adalah common enemy
yang harus diperangi bersama, mestinya harus disuarakan keras-keras
oleh semua pihak dan dengan komitmen tinggi untuk tidak melakukannya.
Jihad
menegakkan kebenaran dan memberantas kebathilan adalah spirit utama
peringatan Muharram. Spirit ini jauh lebih utama ketimbang berpuasa,
sekalipun lebih afdhal bila dilakukan bersamaan, berpuasa sekaligus
jihad. Pertarungan antara kebenaran dan kebathilan berlangsung terus
tanpa henti, sampai datang saat di mana yang haq akan dimenangkan dan
yang bathil dimusnahkan. Kemenangan melawan kebatilan tidak pernah
terwujud tanpa usaha serius dari manusia.
Dalam
konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, kebatilan yang telah
menjerumuskan rakyat ke jurang kesengsaraan harus dihentikan. Pelaku
yang menyebabkan kesesengsaraan harus dicuci mentalnya dan dikembalikan
ke jalan yang benar. Oleh karena itu, peringatan tahun baru Islam ini
harus dijadikan momentum bahwa kebenaran harus ditegakkan dan kebathilan
harus dilawan habis.
Abu Rokhmad, Dosen IAIN Walisongo Semarang
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar